Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend M Jusuf
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang Di Website Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend. M Jusuf Makassar
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend. M Jusuf
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend. M Jusuf Makassar
senin - minggu :

Bahagia Milik Semua/Usman Jasad/al markaz dakwah

Terbit 19 Juni 2021 | Oleh : admin | Kategori : ceramah jum'atKhutbah jum'atMakalah/Ceramah/Khutbah Jum'at
Bahagia Milik Semua/Usman Jasad/al markaz dakwah

Saya yakin semua orang ingin hidup bahagia. Apa pun yang dikerjakan oleh manusia, ujung-ujungnya adalah untuk menemukan kebahagiaan. Para petani mencangkul di sawah tujuannya untuk menemukan kebahagiaan. Para nelayan menangkap ikan di laut, tujuannya adalah untuk menemukan kebahagiaan. Para pedagang melakukan perniagaan, tujuannya adalah untuk menemukan kebahagiaan. Sebenarnya semua orang bisa bahagia karena kebahagiaan adalah milik semua orang. Semua bisa bahagia bukan mimpi tapi suatu kenyataan. Semua bisa bahagia bukan kata-kata kosong untuk menghibur tapi suatu kualitas kehidupan yang bisa diwujudkan.
Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, maka Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, tidak akan menabrakkan badannya ke kereta api. Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia, maka Michael Jackson, penyanyi terkenal di Amerika Serikat, tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis. Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia, maka G. Vargas, presiden Brazil, tidak akan menembak jantungnya sendiri. Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, maka Marilyn Monroe, aktris cantik dari Amerika Serikat, tidak akan meminum alkohol dan obat depresi hingga overdosis. Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, maka Thierry Costa, seorang dokter terkenal dari Perancis, tidak akan bunuh diri akibat sebuah acara di televisi. Ternyata kebahagiaan seseorang itu bukan ditentukan oleh kekayaan, ketenaran, kecantikan, kekuasaan, dan kesehatan.
Yang bisa membuat seseorang bahagia adalah dirinya sendiri. Kalau Anda ingin nyaman memakai mobil merek Toyota, maka Anda harus bertanya kepada mekanik di bengkel Toyota karena perusahaan Toyota yang memproduksi mobil tersebut. Sama halnya, jika Anda ingin bahagia sebagai manusia, maka Andapun harus bertanya dan meminta petunjuk kepada yang menciptakan manusia, yaitu Allah SWT. Seorang ulama sufi bernama Yahya bin Mu’adz ar-Razi mengungkapkan:
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Artinya: “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal dirinya”.
Karena kebahagiaan berada dalam diri setiap orang, maka semua orang bisa bahagia. Orang kaya bisa bahagia, orang miskinpun bisa bahagia. Orang hebat bisa bahagia, orang biasapun bisa bahagia. Orang sehat bisa bahagia, orang sakitpun bisa bahagia.
Kalau kebahagiaan bisa dibeli dengan uang, maka pasti orang-orang kaya akan membeli semua kebahagiaan itu di toko-toko sehingga yang lain tidak kebagian. Memang ada ungkapan: “Uang tidak dibawa mati, tapi kalau tidak ada uang rasanya mau mati”. Jadi saya sarankan kepada para wanita yang sedang mencari jodoh, carilah calon suami yang berkepribadian, yaitu yang punya rumah pribadi, mobil pribadi, dan kolam renang pribadi (ha ha ha … bercanda). Tanpa uang memang sulit untuk bahagia, tapi uang semata-mata bukan merupakan jaminan untuk bisa bahagia. Kalau kebahagiaan itu ada di suatu tempat, maka semua orang akan menuju ke tempat itu dan di belahan bumi lain di bumi ini akan menjadi kosong. Untunglah kebahagiaan itu berada di dalam hati setiap manusia. Jadi manusia tidak perlu membeli atau pergi mencari kebahagiaan itu di suatu tempat. Jika seseorang dekat dengan Allah, memiliki hati yang bersih, dan pikiran yang jernih, maka ia bisa merasakan kebahagiaan kapan pun, di manapun, dan dalam keadaan apapun. Jika seseorang ingin bahagia dari dalam dirinya sendiri, maka tidak ada seorangpun yang bisa membuatnya sengsara
Arti kebahagiaan sudah sejak lama menjadi perdebatan di antara para ilmuan. Menurut Plato, bahagia adalah rasa tenteram dan damai yang bersemayam dalam hati sanubari. Menurut Aristoteles, bahagia adalah terpenuhinya kebutuhan materi berupa sandang, pangan, dan papan. Plato menekankan kebahagiaan pada aspek rohani, sementara Aristoteles menekankan kebahagiaan pada aspek jasmani.
Apakah arti kebahagiaan menurut pandangan Islam? Dalam Bahasa Arab, bahagia dikenal dengan kata ‘sa’adah’ yang berarti bahagia. Dalam Ilmu Tasawuf, ada tokoh yang digelar sebagai ‘Hujjatul Islam’, yaitu Imam al-Ghazali, dalam kitabnya yang sangat terkenal berjudul ‘Ihya Ulumiddin’ menjelaskan bahwa kebahagiaan manusia bisa terwujud jika mencapai tingkat makrifatullah atau mengenal Allah. Kesenangan mata ialah melihat pemandangan yang indah. Kesenangan telinga ialah mendengar suara yang merdu. Dan kesenangan hati ialah mengenal Allah. Terkait dengan kesenangan mata, Allah berfirman dalam al-Qur’an surah Ali ‘Imrah ayat 14:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Terjemahnya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
Konsep ‘makrifatullah’ Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa bahagia merupakan kondisi rohani manusia saat berada pada puncak ketakwaan. Takwa inilah yang menentukan derajat seseorang di hadapan Allah. Allah berfirman dalam al-Qur’an Surah al-Hujuraat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Terjemahnya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Puasa Ramadhan juga bertujuan untuk mencapai derajat ketaqwaan. Allah berfirman dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Kebahagiaan sejati adalah terpenuhinya kebutuhan rohani dan jasmani secara bersamaan. Bahagia bukan saja dibangun atas dasar pemenuhan kebutuhan jasmani, tetapi juga pemenuhan kebutuhan rohani berupa perasaan tenteram. Inilah yang disebut oleh Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul ‘Tasawuf Modern’ dengan istilah ‘sa’adatul kamiilah’ atau kebahagiaan yang sempurna.
Dalam kehidupan sehari-hari, ukuran kebahagiaan itu bisa bermacam-macam tergantung setiap orang. Ada orang bahagia ketika bisa membantu orang lain. Ada orang bahagia ketika bisa mewujudkan cita-citanya. Ada juga orang bahagia ketika bisa melakukan hobinya. Sama seperti seorang istri yang sedang ngidam, mereka memiliki keinginan yang berbeda-beda Ada seorang istri ketika ngidam ingin makan rujak. Ada seorang istri ketika ngidam ingin suaminya duduk di atas lemari. Yang paling unik, ada seorang istri ketika ngidam ingin suaminya mencukur kumisnya sebelah kanan saja, jadi bisa dibayangkan kalau kumis suaminya tebal baru yang dicukur hanya sebelah kanan.
Kalau kita menengok sejarah, sejak dahulu orang-orang memang merasakan kebahagiaan dengan cara yang berbeda-beda. Bilal bin Rabah merasakan kebahagiaan ketika dapat mempertahankan keimanannya dalam kondisi disiksa. Saat Bilal disiksa oleh orang-orang kafir, ia ditidurkan di atas padang pasir yang tandus, di hadapkan kepada teriknya matahari, dan di atas dadanya diletakkan sebongkah batu besar. Orang kafir itu, “Hai Bilal kalau kamu ingin selamat, maka katakan bahwa Allah itu bukan Tuhanmu dan Muhammad itu bukan utusan Allah” Bilal menjawab, “Tubuhku bisa kalian hancurkan dengan batu, tapi iman saya kepada Allah tidak bisa kalian hancurkan. Tubuh dan kepalaku bisa kalian pisahkan, tapi kalian tidak akan bisa memisahkan antara iman dengan hatiku. Meskipun kalian menyiksaku, saya tetap pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” Imam Abu Hanifah merasakan kebahagiaan ketika dijebloskan ke dalam penjara dan dicambuk setiap hari karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Bagi Imam Abu Hanifah, ruang penjara dirasakannya ibarat taman-taman syurga dan ayunan cambuk dirasakannya ibarat lambaian tangan bidadari. Rabiah al-Adawiyah merasakan kebahagiaan ketika beribadah dengan penuh rasa cinta kepada Allah. Sampai-sampai ia memohon, “Ya Allah kalau aku beribadah karena mengharap syurga maka jauhkanlah aku dari syurga. Kalau aku beribadah karena takut neraka maka masukkanlah aku ke dalam neraka”
Jadi arti kebahagiaan itu bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Intinya adalah aspek materi menentukan kebahagiaan, tetapi yang paling menentukan kebahagiaan adalah aspek non-materi berupa kedekatan seorang hamba dengan Allah, memiliki pikiran yang jernih, dan perasaan yang tenteram.
Pada hakikatnya tujuan hidup umat manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Terjemahnya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Dalam rangka beribadah kepada Allah, manusia harus hidup bahagia karena Allah menurunkan al-Qur’an untuk melahirkan kebahagiaan. Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an surah Thaha ayat 2:
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ
Terjemahnya: “Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah”
Maksud ayat ini adalah al-Qur’an diturunkan untuk menghilangkan kesusahan sehingga terwujud hidup bahagia. Apakah tujuan hidup bahagia itu? Tujuan hidup bahagia adalah supaya orang yang bahagia itu membawa manfaat dan pengaruh positif bagi pekerjaan, lingkungan, dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Karyawan yang bahagia, hasil pekerjaannya akan menjadi lebih baik. Sebagian karyawan di kantor Google memakai papan selancar saat bekerja. Saat menggunakan papan selancar, karyawan itu bergerak dan hatinya gembira sehingga ia bisa melahirkan ide-ide yang kreatif. Guru yang bahagia akan membuat siswanya lebih kreatif dan mudah dalam menerima materi pelajaran. Mata pelajaran tertentu di sekolah kadang-kadang menjadi sulit bukan karena materi pelajarannya, melainkan karena pembawaan gurunya yang sangar dan tidak komunikatif. Karena itu, bersyukurlah karena banyak guru yang persuasif dan komunikatif. Ada seorang guru memanggil dua muridnya ke depan. Murid pertama adalah perempuan bernama Wati. Murid kedua adalah laki-laki bernama Budi. Dengan penuh kasih sayang, guru itu bertanya kepada Wati, “Wati kalau besar cita-citanya mau jadi apa? Karena gurunya dengan suasana hati bahagia, maka Wati menjawab dengan kreatif, “Saya kalau besar mau menjadi pengusaha supaya banyak uang, bisa bangun masjid dan membantu orang lain” Guru itu lanjut bertanya kepada Budi, “Kalau Budi apa citi-citanya?” Budi menjawab lebih kreatif lagi, “Saya kalau besar mau menjadi suaminya Wati” Inilah contoh guru yang bahagia sehingga melahirkan kreatifitas bagi murid-muridnya.
Pedagang yang bahagia akan menarik lebih banyak pembeli. Anda tentu akan lebih memilih untuk membeli barang pada penjual yang suka senyum. Orang tua yang bahagia akan memengaruhi pembentukan karakter anak-anaknya. Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Artinya: “Semua anak terlahir dalam keadaan fithrah” (HR. Bukhari Nomor 1296)
Maksud hadis ini adalah setiap anak terlahir dalam keadaan suci dan orang tuanyalah yang membentuk kepribadian anaknya. Ada seorang anak terlambat ke sekolah karena orang tuanya bertengkar. Guru bertanya kepada anak itu, “Kenapa terlambat?” Anak itu menjawab, “Saya terlambat karena orang tua saya bertengkar” Gurunya bertanya lagi, “Apa hubungan antara orang tuamu bertengkar dengan terlambat datang ke sekolah?” Anak itu menjawab, “Saat bertengkar, bapak memegang sepatu saya yang sebelah kanan dan ibu memegang sepatu saya sebelah kiiri. Jadi saya tunggu dulu mereka selesai bertengkar baru ke sekolah, makanya saya datang terlambat” Inilah salah satu contoh bahwa perilaku orang tua memengaruhi pembentukan karakter anaknya. Pasangan suami-istri yang bahagia akan memengaruhi pembentukan keluarga yang sakinah mawaddatan warahmah. Kalau ada kesalahfahaman antara suami-istri itu hal biasa, yang penting bisa saling memaafkan. Ada sepasang suami-istri bertengkar dan pisah rumah. Suatu hari, suaminya bermaksud pulang ke rumah. Dia menelepon istrinya, “Saya minta maaf dan sekarang Papa mau pulang ke rumah” Istrinya menjawab lewat telpon, “Mama belum bisa memaafkan Papa. Di dekat Papa sekarang apa ada gelas?” Suaminya menjawab, “Iya ada”. Istrinya lanjut, “Coba Papa lemparkan gelas itu ke lantai!” Suaminya melempar gelas itu ke lantai terus melaporkan, “Gelasnya sudah saya lempar ke lantai” Istrinya menjelaskan, “Gelas itu pasti hancur setelah Papa lempar ke lantai. Nah seperti itulah hati Mama sekarang, hancur dan tidak bisa utuh kembali” Suaminya menjawab, “Tapi gelas yang saya lempar tadi itu gelas plastik jadi tidak hancur” Setengah berteriak istrinya membalas, “Ya sudah kalau begitu Papa saya maafkan, sekarang pulang ke rumah”
Berusahalah untuk hidup bahagia karena orang yang bahagia itu akan menularkan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.

SebelumnyaRahasia Kekuatan Sedekah dan Kepedulian Sosial/Prof. DR. H. Abd. Rasyid Masri.,S.Ag.M.Pd.,M.Si.,M.M/Al Markaz Dakwah SesudahnyaMeraih Ketenangan Dengan Zikrullah/DR.H.Nashiruddin Pilo, M.A/Al Markaz Dakwah

Tausiyah Lainnya