Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend M Jusuf
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang Di Website Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend. M Jusuf Makassar
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend. M Jusuf
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Datang di Website Resmi Masjid Al-Markaz Al-Islami Jend. M Jusuf Makassar
senin - minggu :

REVITALISASI MAKNA ISRA MI’RAJ DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA/KASJIM SALENDA/AL MARKAZ DAKWAH

Terbit 12 Maret 2021 | Oleh : admin | Kategori : ceramah jum'atKhutbah jum'atMakalah/Ceramah/Khutbah Jum'at
REVITALISASI MAKNA ISRA MI’RAJ DALAM KEHIDUPAN  BERBANGSA DAN BERNEGARA/KASJIM SALENDA/AL MARKAZ DAKWAH

Setiap tanggal 27 Rajab, umat Islam Indonesia pada umumnya memperingati salah satu peristiwa bersejarah yang dialami oleh Rasulullah SAW yakni Isra Mi’raj. Isra Mi’raj adalah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW secara horizontal dan vertikal dari masjidil Haram di Mekkah  ke masjidil Aqsha di Palestina lalu naik ke Sidratul Muntaha.

Tahun ini umat Islam memperingati Isra Mi’raj di tengah wabah corona. Virus Covid-19 telah menjadi pandemi di seluruh dunia dan menimbulkan ketakutan massa yang luar biasa. “Ribuan orang meninggal dunia termasuk saudara-saudara kita di Indonesia. Isolasi dan pembatasan mobilitas membuat sebagian masyarakat kehilangan mata pencaharian dan merosot pendapatannya.

Peristiwa Isra Mi’raj didahului oleh masa-masa tersulit dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Kemarahan dan permusuhan kaum Quraish kepada Rasulullah SAW dan pengikutnya menyebabkan mereka diboikot secara ekonomi, sosial dan psikologis sehingga mengalami kesulitan dan tantangan yang dahsyat. Di tengah kesulitan dan keterbatasan tersebut,   cobaan dan ujian dari Allah SWT menimpa Rasulullah SAW yakni dengan meninggalnya orang-orang tercinta yang senantiasa memberikan dukungan moril dan materil dalam perjuangan beliau yaitu Khadijah RA dan pamannya Abu Thalib. Kematian kedua pendukung utama di tengah tekanan dan ancaman musuh-musuh Islam, Rasulullah SAW merasakan seolah dunia ini begitu sempit, tiada lagi harapan dan seolah semuanya sudah berakhir sehingga dikenal dalam sejarah Islam sebagai hari duka cita (yaumul huzn).  Dalam suasana kesedihan dan sebagai manusia tentunya hampir saja mengalami keputusasaan, Allah Yang Maha Rahman dan Rahim membuka pintu kasih-Nya bagi hamba-Nya yang paling mulia dengan memberikan ‘kompensasi’ dengan memperjalankannya di malam hari dengan peristiwa Isra dan Mi’raj sebagaimana firman Allah  dalam surah al-Isra/17: 1:

سبحان الذى أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الاقصا الذى باركنا حوله لنريه من أياتنا انه هو السميع البصير .

Terjemahnya:

Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Surah Al-Isra’ ayat 1 menarik untuk dikaji karena termasuk salah satu ayat yang diawali dengan “subhanallah” (Maha Suci Allah). Semua ayat yang diawali dengan term “subhanallah” pasti menunjukkan makna dan peristiwa yang sangat luar biasa, sulit diterima dan dijangkau oleh akal dan pikiran logis (ta’aqquli), tetapi hanya melalui keyakinan (ta’abbudi). Sebab secara ilmiah, menurut teori relativitas Einstein, bahwa hanya ruh Rasulullah Saw yang naik ke langit bersama Jibril. Apabila perjalanan Rasulullah beserta jasadnya dengan kecepatan cahaya, maka tubuhnya akan meledak.

Sekalipun peristiwa Isra Mi’raj sulit diterima secara akal berdasarkan keterbatasan logika dan pikiran manusia tetapi sebagai orang yang beriman wajib untuk meyakininya berdasarkan petunjuk Al-Qur’an. Aspek transendensinya Isra Mi’raj itu perlu ditekankan di sini. Karena jika dirasionalkan, selain tidak mungkin, nanti akan terjadi desakralisasi terhadap Isra Mi’raj. Artinya, jika segala sesuatu harus dirasionalkan baru bisa diyakini, maka rukun iman itu juga akan bermasalah.  Oleh karena itu, Isra Mi’raj itu merupakan latihan keimanan, yaitu bagaimana mempercayai sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi secara religiusitas wajib diyakini dan diimani, karena berimplikasi pada keyakinan terhadap rukun iman.

Jadi, aspek-aspek yang harus diyakini dalam Isra Mi’raj itu ada dua dimensi, yaitu pertama perjalanan horizontal yang bisa dirasionalkan dan diukur. Kedua, dimensi vertikal yaitu perjalanan dari Yerussalem,Palestina ke Sidratul Muntaha yang tidak bisa dirasionalkan.

Perjalanan Nabi secara horizontal dan vertikal tersebut merupakan peningkatan potensi spiritual dan intelektual manusia sebagai makhluk yang sempurna. Isra berarti bergerak dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa artinya dalam menjalani kehidupan ini, manusia harus bergerak maju (move on) untuk meningkatkan kualitas hidup. Orang yang berdiam ditempat tanpa melakukan pergerakan akan  tergilas oleh modernisasi yang berubah sangat cepat seiring degan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini perlu disadari bahwa hidup ini adalah pergerakan, bekerja menurut profesi masing-masing. Kita harus tingkatkan etos kerja, sebab hanya dengan demikian hidup kita dapat berubah ke arah yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surah al- Ra’ad/13: 11:

… ان الله لا يغيرمابقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم …

Terjemahnya:

… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan iri mereka sendiri …

Bekerja merupakan inti keberadaan manusia di dunia ini, tanpa bekerja manusia akan kehilangan jati diri, fungsi dan peran utamanya sebagai khalifatullah (wakil Tuhan) untuk memakmurkan alam raya ini. Hanya dengan bekerja kita dapat mengelola dan menikmati sumber daya alam yang melimpah dan kaya raya sebagai anugerah dari Allah SWT untuk bangsa Indonesia. Kalau bangsa ini ingin maju seperti bangsa-bangsa lainnya misalnya Denmark, Finlandia, Jepang, Amerika, Inggris maka kuncinya adalah tingkatkan potensi dan etos kerja.

Namun demikian, dalam membangun negeri ini, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah relasi yang harmonis antar sesama anak bangsa. Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang majemuk (plural), terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan kelompok-kelompok sosial lainnya. Kemajemukan ini  merupakan realitas yang tak terbantahkan di bumi Nusantara ini. Satu sisi, kemajemukan ini menjadi modal sosial pembangunan bangsa, dan di sisi lain berpotensi terjadinya konflik sosial bila tidak dikelola dengan baik. Untuk itu diperlukan sikap saling menghormati dan menghargai demi terwujudnya persatuan dan kesatuan dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi tetap satu), satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yakni Indonesia.

Pembangunan bangsa harus senantiasa memperhatikan integrasi sosial yang terimplementasi dalam bentuk tri kerukunan yakni kerukunan antar umat beragama, kerukunan internal umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Hanya dengan mewujudkan tri kerukunan tersebut, kita dapat menikmati hasil pembangunan yang telah diupayakan pemerintah bersama seluruh rakyat.

Kerukunan tersebut adalah manifestasi dari sikap toleransi (tasamuh) masyarakat Indonesia seperti yang telah dicontohkan Rasulullah sesaat setelah hijrah ke Madinah. Nabi Muhammad melihat masyarakat Madinah yang majemuk terdiri dari beberapa agama seperti Islam, Yahudi dan Nasrani serta dihuni oleh beberapa suku misalnya Quraisy, Aus dan Khazraj. Melihat pluralitas tersebut, Rasulullah berinisiatif untuk membangun kebersamaan dengan melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan nama “Piagam Madinah”. Dalam pandangan Nurcholish Madjid (1992: 195) “Piagam Madinah” merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha. Ada persamaan antara Madinah saat itu dengan Indonesia saat ini, yaitu keduanya memiliki masyarakat yang pluralistik. Negeri ini bukan saja dihuni oleh masyarakat dari pelbagai etnis dan agama, tetapi juga dibangun oleh pelbagai etnis dan agama. Oleh karena itu, apa yang telah diteladankan Rasulullah melalui Piagam Madinah, sudah semestinya diimplementasikan oleh umat Islam Indonesia. Umat Islam dituntut untuk meningkatkan potensi diri agar dapat berkontribusi dalam membangun bangsa dan negara demi mewujudkan negeri yang damai, sejahtera dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.

            Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

            Pada bagian lain, aspek vertikal perjalanan Isra Mi’raj ini, dari Baitul Maqdis menuju Sidratul Muntaha mengajarkan bahwa manusia dengan segala kehebatannya ternyata masih memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam menghadapi cobaan hidup. Sebagai ilustrasi,  berbagai peristiwa alam seperti gempa bumi, gunung meletus, covid-19 yang telah menelan korban yang tidak sedikit dan bahkan covid-19 belum ada tanda-tanda berakhirnya baik nasional maupun global mengajak kita semua untuk kembali merefleksikan bahwa bencana dan ujian bertubi-tubi memerlukan bantuan dan inervensi dari Allah SWT. Oleh karena itu, wajib bagi umat manusia untuk merendahkan diri kepada Allah SWT  agar kita memperoleh pertolongan dan ampunan-Nya. Jadi, sudah saatnya kita melakukan ‘taubat nasional’ atau istighosah. Hal ini kita lakukan karena kita sudah mengikuti dan melaksanakan seluruh prosedur yang telah ditetapkan oleh lembaga profesional. Menurut saya, inilah cara kita memahami Mi’raj dalam menghadapi berbagai cobaan dan bencana. Hal ini dianalogikan dengan peristiwa yang dialami Nabi dan pengikutnya berupa ancaman dan embargo dari kaum kafir Quraisy serta wafatnya istri Nabi (Khadijah) dan pamannya (Abu Thalib) yang selalu membantu dan melindunginya, sehingga Nabi dilanda kesedihan yang sangat luar biasa sehingga Allah SWT memperlihatkan kasih sayang-Nya dengan memperjalankannya pada peristiwa Isra dan Mi’raj.

            Peristiwa Mi’rajnya Nabi memberikan ibrah (pelajaran) kapada kita bahwa manusia dalam menghadapi segala macam cobaan, ujian hendaknya tidak melupakan permohonan bantuan kepada Allah SWT. Karenanya setelah mengambil semua upaya manusiawi untuk menghadapinya, masanya kita berdoa kepada Allah SWT untuk meringankan beban-beban kita.

Minimal dua hal penting yang harus kita lakukan. Pertama, berupaya secara sungguh-sungguh, sistematis dan keberlanjutan dalam menanggulangi musibah lalu tawakkal bahwa tidak yang dapat menimpa kita kecuali atas izin Allah SWT. Kedua, berdoa dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan kiranya Allah segera memberikan solusi dari segala cobaan, ujian termasuk ancaman wabah covid-19.

Kesimpulan:

  • Peristiwa Isra Mi’raj dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa secara horizontal lalu ke Sidratul Muntaha secara vertikal mengindikasikan pentingnya menjaga relasi antara sesama manusia dan relasi dengan Allah SWT (hablun minannas wa hablun minallah).
  • Perjalanan Isra Mi’raj Nabi secara horizontal dan vertikal mengilustrasikan kepada kita bahwa muamalah dan ibadah harus seimbang (wasathiyah) dalam rangka meraih kebahagian di dunia dan akhirat (hasanah di al-dunya wa hasanah fi al-akhirah).
  • Inti dari kehidupan ini adalah bekerja, mari kita bekerja dan berupaya menurut profesi kita masing-masing semaksimal mungkin dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan membangun bangsa, itulah makna term “isra”. Selanjutnya upaya dan ikhtiar yang dilakukan pada akhirnya kita mohonkan keberkahannya kepada Allah Rabbul Alamin sebagai simbol dari lafal “mi’raj” (berisralah dahulu sebelum bermi’raj).
SebelumnyaZaman Milenial/Dr. H. Anwar Sadat Abdul Malik, LC., MA/Al Markaz Dakwah SesudahnyaKEADILAN PENYEBAB STABILITAS NEGARA/H.M.RUSYDI KHALID/AL MARKAZ/DAKWAH

Tausiyah Lainnya